Selamat Datang

Selamat datang di Jamuherbacure artikel. Di sini anda bisa membaca berbagai macam artikel yang berhubungan dengan kesehatan dan pengobatan secara alami
Silahkan memasukkan kata kunci anda ke dalam kolom search blog diatas untuk mencari artikel yang anda inginkan.

Konsumsi Herbal Mesti Rasional

Sebagaimana obat modern, obat tradisional juga bisa menjadi obat sekaligus racun. Jika digunakan secara tepat, ia bisa menyembuhkan penyakit yang sulit ditangani oleh obat modern sekalipun. Tapi jika pemakaiannya salah, bisa saja penyakitnya malah tambah parah.
Obat tradisional, khususnya obat herbal, hingga sekarang masih sering menjadi bahan perdebatan seru yang tak kunjung habis. Para pengobat tradisioanl mendewa-dewakannya, tapi kalangan dokter sering berargumen, “belum ada buktinya,”.
Tidak terlalu sulit mencari contohnya. Hampir tiap tahun muncul primadona baru di jajaran obat tradisional. Sebut saja, buah mahkota dewa, lalu virgin coconut oil (VCO), kemudian buah merah, dan yang paling mutakhir sarang semut.
Para pengobat tradisional biasanya mengangkat pamor tanaman primadonanya dengan testimony para pemakai yang berhasil sembuh. Bagi mereka, pengalaman itu adalah bukti kemujaraban tanaman tersebut, sayangnya, kalangan dokter selalu bilang testimony itu belum bisa dijadikan sebagai bukti. Dalam pandangan dokter, yang dianggap bukti yaitu uji klinis, bukan pengakuan orang per orang.
Tinggallah orang awam yang kebingungan menyaksikan perselisihan dua kubu tadi. Kecuali jika orang awam bisa memahami logika ilmu kedokteran modern. Ilmu Kedokteran Modern ditegakkan diatas data-data penelitian ilmiah yang baru bisa dianggap sah jika telah memenuhi kaidah-kaidah statistic.
Bukan berarti pengalaman-pengalaman pemakai itu hanya bualan atau omong kosong belaka. Namanya saja cerita, kita boleh percaya, boleh juga tidak. Masalahnya, kesembuhan beberapa orang belum bisa mewakili populasi, Karena belum memenuhi kaidah statistic, itu sebabnya pengakuan beberapa orang belum dianggap sebagai “bukti”.
Agar bisa setara denga obat modern, obat tradisional harus melewati banyak tahap, persis seperti obat modern. Ambil contoh, kumis kucing (Orthosiphon stamineus), secara empiris, tanaman ini sudah biasa dipakai kakek-nenek kita sebagai obat tekanan darah tinggi. Pada tahap ini, derajat kumis kucing masih sebagai jamu, secara empiris khasiatnya sudah diakui, tapi belum ada bukti ilmiah yang mendukungnya. Masyarakat dipersilahkan memakai, tapi dokter belum sudi meresepkannya.
“Agar bisa diresepkan, obat tradisional harus punya bukti ilmiah dulu,” kata dr. Hedi R. Dewoto, Sp,FK, Farmakolog Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Supaya punya bukti ilmiah, tanaman ini harus di uji dahulu efeknya pada binatang coba. Jika terbukti aman dan menunjukkan efek penurunan tekanan darah, dokter beru akan mengakui khasiatnya. Pada tahap itu pun dokter masih belum bersedia meresepkannya.
Kumis kucing baru akan dianggap setara dengan obat modern jika telah diuji pada manusia. Bukan hanya pada binatang coba. Tahapan inilah yang dikenal sebagai uji klinis, setelah lulus uji klinis, obat ini baru bisa setara dengan obat-obat modern antihipertensi seperti kaptopril, hidroklorotiazida (HCT),dan sebagainya.
Begitu lulus uji klinis, obat tradisional bisa memakai baju Fitofarmaka yang layak diresepkan dokter dan bisa masuk pelayanan formal seperti di rumah sakit atau puskesmas. Di Indonesia , baru ada beberapa gelintir Fitofarmaka, seperti Tensigard Agromed (antihipertensi), X-Gra (antidisfungsi seksual pria), Stimuno (peningkatan daya tahan tubuh), Nodiar (antidiare), dan Rheumaneer (antinyeri). Obat tradisional kategori ini sudah layak diresepkan, karena memang sudah punya bukti klinis yang mendukung. Bukan sekedar pengakuan Pak Wayan maupun Bu Susi.

BISA BEREFEK BURUK
Selama ini obat tradisional diyakini tidak punya efek samping. Atau, kalau pun ada, efek sampingnya boleh diabaikan. Menurut Hedi, pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Bagaimanapun obat tradisional tetap bahan asing bagi tubuh.
Dalam ujian disertasinya di Institut Pertanian Bogor belum lama ini. Dr. dr. Aris Wibudi. Sp,PD, menceritakan sebuah kasus yang bisa menjadi pelajaran.
Aris pernah menangani kasus pasien yang mengalami hipoglikemia berat akibat minum obat tradisional secara salah, sebelumnya, pasien sudah mendapat obat antidiabetes dari dokter. Lalu, tanpa sepengetahuan dokter, pasien juga minum obat tradisional yang berisi beberapa macam tanaman. Dua diantaranya sambiloto (Andrographis paniculata) dan brotowali (Tinospora crispa). Padahal kedua tanaman ini diketahui punya efek menurunkan kadar gula darah. Walhasil, bukannya sembuh, pasien justru mengalami hipoglikemia berat. Efek ini di yakini timbul karena kerja sinergi dari obat antidiabetes dari dokter, di tambah efek hipoglikemia dari sambiloto dan brotowali.
Kasus tadi hanya salah satu contoh dari banyak kasus lain yang tidak sempat terdokumentasi. Efek buruk lain misalnya timbulnya pendarahan atau hipotensi berat selama minum obat tradisional tertentu. Ini semua membuktikan kalau jamu pun bisa menimbulkan efek buruk jika diminum tanpa hati-hati. Efek buruk ini sulit diperkirakan karena dokter pun tidak tahu mekanisme kerja obat tradisional di dalam tubuh.
Ini memang salah satu kekurangan obat tradisional. Berbeda dengna obat-obat modern yang cara kerjanya diketahui jelas. Kita bisa membandingkan antara sari kumis kucing dan kaptopril atau HCT. Baik kaptopril atau HCT punya berjibun data penelitian yang menunjukkan mekanisme kerjanya. Kaptopril diketahui bekerja menurunkan tekanan darah dengan cara memperlebar dan memperlentur pembuluh darah, sedangkan HCT menurunkan tekanan darah dengan cara mengurangi volume cairan di dalam pembuluh darah. Cara kerja kedua obat ini telah diketahui jelas. Nah, pada kumis kucing, mekanisme kerjanya mesih sebatas dugaan.
Para peneliti belum bisa memastikan cara kerjanya karena kandungan obat tradisional jauh lebih kompleks dari pada obat modern. Sebagai gambaran, dalam sehelai daun kumis kucing terdapat puluhan hingga ratusan macam senyawa fitokimia (fito : tumbuhan). Begitu pula di dalam buah pace, pare, mahkota dewa, buah merah, dan sebagainya. Lain dibuah, beda di akar. Sebagian besar senyawa fitokimia ini tidak diketahui strukturnya. Apalagi mekanisme kerjanya, semuanya masih gaib.

ISINYA BERMACAM-MACAM
Menurut Hedi, penelitian obat tradisional hingga sekarang kebanyakan masih dalam tahap farmakodinamika. Maksudnya, para peneliti hanya menguji ada tidaknya efek tertentu pada hewan coba, misalnya, apakah memang benar ekstrak buah mahkota dewa mempunyai efek menurunkan kadar gula darah pada binatang coba.
Karena itu, penelitian itu belum bisa pertanyaan lebih lanjut, senyawa apa yang punya efek menurunkan kadar gula darah, bagaimana strukturnya, dan bagaimana mekanisme kerjanya. Semua masih samar-samar.
Kebanyakan penelitian masih berhenti sampai disini, itu terjadi pada semua tanaman obat. Para peneliti baru bisa membuktikan bahwa ekstrak buah pace memang bisa menurunkan tekanan darah. Tapi mereka hanya bisa menduga-duga cara kerjanya di dalam tubuh. Masih wallahu a’lam.
Bahkan sediaan fitofarmaka yang layak diresepkan dokter pun masih belum jelas betul mekanisme kerjanya. Kandungan aktifnya masih sebatas dugaan. Mekanisme kerjanya juga masih kira-kira, kalaupun para peneliti mengetahui kandungan fitokimianya, kebanyakan masih sebatas golongan umum. Misalnya alkaloid, flavonoid, antioksidan, minyak atisiri, asam amino, dan sejenisnya. Nama-nama ini bukanlah nama sebuah senyawa fitokimia tertentu, tapi nama golongannya. Jika di analogikan dengan orang Indonesia, nama-nama itu nama suku, bukan nama orang, “Alkaloid itu jenisnya sangat banyak. Flavonoid juga begitu, “ ujar Hedi.
Jika suatu tanaman mengandung alkaloid, tidak berarti ia pasti berkhasiat sebagai obat diabetes atau hipertensi. Begitu pula, jika suatu tanaman mengandung antioksidan atau flavonoid, tidak otomatis ia punya efek antikanker. Sama persis seperti logika kita sehari-hari. Orang Madura tidak otomatis berprofesi sebagai penjual sate, Orang Padang tidak mesti punya warung nasi padang.

CONTOH ADA !
Kompleksitas kandungan fitokimia ini di satu sisi memang menimbulkan masalah bagi peneliti, tapi di sisi lain, hal ini justru menjadi rahasia yang menantang, jika dokter mengatakan belum ada buktinya itu sama sekali tidak berarti tanaman tersebut tidak berkhasiat. Bisa saja berkhasiat. Cuma masalahnya, belum ada penelitian yang mendukung.
Buktinya melimpah. Banyak obat modern yang awalnya obat tradisional, kita bisa menyebut contoh vinkristin, vinblastin, digitalis, artemisin, morfin, kodein, dan masih banyak lagi, semua nama ini contoh senyawa tunggal yang masuk kategori obat modern.
Vinkristin dan vinblastin, dua senyawa antikanker, diisolasi dari tapak dara (Vinca rosea). Digitalis, obat jantung, berasal dari tanaman Digitalis purpurea. Artemisin, obat antimalaria, berasal dari tanaman Atemisia annua. Morfin, obat penekan system syaraf pusat yang sering di salah gunakan itu, berasal dari tanaman opium (Papaver somniverum). Dari morfin, para ilmuwan lalu mengembangkan kodein yang biasa dipakai sebagai obat batuk. Semua contoh ini membuktikan, tanaman obat punya potensi menghasilkan senyawa tunggal untuk obat modern.
Dalam pandangan Hedi, salah satu kendala penelitian obat tradisional adalah masalah waktu dan biaya. Agar jamu bisa naik kelas menjadi obat modern yang diketahui mekaisme kerjanya, penelitiannya membutuhkan waktu hingga 20-an tahun.
“Biayanya gak kebayang, deh,” ucap Hedi sambil geleng-geleng kepala. Lebih susah lagi, para peneliti sejauh ini biasanya bekerja sendiri-sendiri, tidak focus meneliti suatu tanaman tertentu mulai dari A sampai Z, “jadi kalau sekarang kita ditanya bagaimana mekanisme kerjanya, itu masih jauh,” tandasnya, masih dengan geleng-geleng kepala.
Artinya, kita tak perlu tergesa-gesa menyimpulkan bahwa tanaman anu pasti punya khasiat anu. Di lain pihak, kita juga tidak boleh meremehkan dan menganggap bahwa khasiat tanaman obat hanya mitos belaka. Semua harus dipandang secara rasional dan objektif. Bisa saja suatu saat nanti kita berhasil mengisolasi obat antihepatitis dari meniran atau temulawak. Siapa tahu nanti kita bisa menemukan obat antikanker dari buah mahkota dewa, atau obat anti-HIV dari buah merah.
Kita boleh berharap ‘kan?. ■


Sumber : Intisari / Agustus 2006 No. 517

Antioksidan, Senyawa Ajaib Penangkal Penuaan Dini

Antioksidan, zat yang dalam kadar rendah mampu menghambat laju oksidasi molekuler target, sering disebut sebagai senyawa ajaib karena dapat menangkal penuaan dini dan beragam penyakit yang menyertainya. Senyawa yang bersemayam dalam buah, sayur, ikan, rempah-rempah dan biji-bijian ini dapat menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal bebas dalam tubuh yang diyakini sebagai dalang penuaan dini. Menjadi tua adalah suatu proses alami yang tak dapat dihindarkan dan berlangsung secara terus-menerus yang ditandai pada perubahan sel-sel tubuh. Di usia memasuki 40-an tahun, seseorang akan mengalami ini secara nyata. Kulit mulai tampak berkeriput dan kering sebab produksi kelenjar keringat kulit mulai menurun. Kemudian, diikuti proses pigmentasi kulit makin meningkat dan rambut mulai menampakkan uban. Gejala negatif lainnya adalah stres, penyakit jantung, katarak dan perubahan kejiwaan yang makin merosot. Penyakit jantung akan makin cepat bersemayam dalam tubuh jika seseorang kerap mengalami kondisi stres yang akan merangsang peningkatan kolesterol darah khususnya LDL sehingga akan lebih berisiko terhadap penyakit jantung koroner. Sementara itu, gejala perubahan kejiwaan yang tampak dalam proses penuaan adalah pikun alias cepat lupa terhadap apa yang baru saja dilakukan, seperti tempat meletakkan kunci mobil, tas, jam tangan dan lain-lain. Gejala lainnya adalah sulit membedakan dan mengingat sesuatu seperti nama orang, tempat, dan ruang.Satu hal lagi yang acap ditakuti dan dihindari adalah proses penuaan pada kulit. Setiap orang berusaha agar kulitnya tetap bersih, kencang dan tidak keriput. Para ahli kesehatan memberikan tip sehat untuk mencegah penuaan dini, antara lain, memelihara kesehatan secara baik, menghindari terpaan sinar matahari secara langsung ke kulit, membersihkan kulit dari debu dan kotoran, menghindari makanan berlemak berlebihan dan berpengawet serta mengonsumsi vitamin yang memiliki aktivitas antioksidan.Radikal Bebas Tip sehat ini berhubungan erat dengan sifat kulit dan anggota tubuh lainnya yang rentan terhadap pengaruh lingkungan yang amat merugikan, seperti sinar ultra violet dari matahari, polusi udara seperti asap kendaraan bermotor, asap rokok dan bahan-bahan beracun lainnya. Jenis makanan tertentu seperti fast food (cepat saji) dan makanan kemasan atau kaleng juga ditengarai berpotensi meninggalkan racun dalam tubuh karena makanan ini berlimpah lemak dan mengandung pengawet. Padahal untuk zaman sekarang, kebiasaan makan makanan berlemak tinggi menjadi sesuatu yang sulit dihindari karena perubahan pola hidup masyarakat di perkotaan.Mengapa tubuh kita rentan terhadap berbagai jenis polutan, makanan berlemak dan berpengawet? Para ahli pangan, gizi dan kesehatan menyebutkan polusi udara dan makanan berlemak dapat menjadi sumber radikal bebas dalam tubuh. Yaitu suatu molekul atau atom apa saja yang sangat tidak stabil karena memiliki satu atau lebih elektron yang tak berpasangan. Radikal bebas ini berbahaya karena amat reaktif mencari pasangan elektronnya. Jika radikal bebas sudah terbentuk dalam tubuh maka akan terjadi reaksi berantai dan menghasilkan radikal bebas baru yang akhirnya jumlahnya terus bertambah. Selanjutnya akan menyerang sel-sel tubuh kita sehingga terjadilah kerusakan jaringan yang akan mempercepat proses penuaan. Semua sel dalam tubuh, mempunyai enzim yang dapat menangkal serangan radikal bebas. Enzim SOD (Superoxide dismutase) dan glutation proksidase dapat menjadi contoh. SOD akan menjinakkan senyawa oksigen reaktif seperti superoksida anion (O-2) radikal menjadi hidrogen peroksida (H2O2), selanjutnya glutation perksidase mengubahnya menjadi air. Namun dengan meningkatnya usia terjadilah penurunan jumlah kedua enzim ini dalam tubuh, sehingga radikal bebas tidak dapat sepenuhnya dimusnahkan. Belum lagi radikal bebas dari luar yang menyusup masuk ke dalam tubuh akan mempersulit tubuh untuk mengatasi gempuran radikal bebas.

Sumber Antioksidan

Hasil penelitian ilmiah menunjukkan bahwa buah-buahan, sayuran dan biji-bijian adalah sumber antioksidan yang baik dan bisa meredam reaksi berantai radikal bebas dalam tubuh, yang pada akhirnya dapat menekan proses penuaan dini. Tomat mengandung likopene, yakni antioksidan yang ampuh menghentikan radikal bebas sehingga tak berkeliaran mencari asam lemak tak jenuh dalam sel. Hal yang sama dilakukan lutein dan zeasantin yang terdapat pada bayam, diketahui amat aktif mencegah reaksi oksidasi lipid pada membran sel lensa (mata) sehingga kita dapat terhindar dari katarak. Sedangkan antioksidan vitamin seperti vitamin C, E dan betakarotenoid akan menstabilkan membran sel lensa dan mempertahankan konsentrasi glutation tereduksi dalam lensa.American Heart Association (AHA) dalam petunjuk ilmiahnya yang dimuat dalam Journal of the American Heart Association edisi Februari 1999, mengatakan bukti-bukti yang ada sekarang tidak cukup kuat menjadi dasar merekomendasikan suplemen vitamin antioksidan untuk masyarakat umum. Namun, di sisi lain AHA terus merekomendasikan agar masyarakat meningkatkan konsumsi makanan kaya antioksidan seperti sayuran, buah dan kacang-kacangan. Hal yang sama juga dilakukan Institut Kanker Nasional AS, terus mengampanyekan agar masyarakat mengonsumsi 5 kali atau lebih buah atau sayur dalam sehari. Data ilmiah menyebutkan, individu yang rajin mengonsumsi buah dan sayur memiliki peluang untuk awet muda dan terhindar dari penyakit yang terkait dengan penuaan seperti kanker dan pernapasan. Langkah sehat lainnya adalah mengurangi asupan jumlah kalori yang berasal dari karbohidrat dan lemak. Kalori dapat mempercepat penuaan dini karena untuk mengubahnya menjadi energi diperlukan lebih banyak oksigen. Namun, di lain pihak oksigen memicu banyak radikal bebas yang bersumber dari senyawa reaktif oksigen, yang kemudian menyerang sel-sel dan akhirnya mempercepat proses penuaan.